Syahdan di Etiopia. Sang Negus mengangkat Germame Neway, lulusan Amerika, menjadi gubernur. Pengangkatan seorang pejabat itu sebenarnya momen yang normal di mana pun, juga di Negeri Habsi itu. Apalagi Sang Negus alias Haile Selassie adalah penguasa yang memutuskan kedudukan bawahannya. Ia sendiri yang menunjuk menteri, gubernur, manajer hotel, bahkan kepala kantor pos. Ia Sang Penentu nasib.
Tak heran bila saat-saat penunjukkan pejabat adalah klimaks dari seluruh harap-harap cemas, juga kasak kusuk, gosip, info-info, dan fitnah-fitnah sesama pembesar. Dan H.S. tampaknya menikmati saat-saat seperti itu dengan senang.
Tapi gubernur yang satu ini aneh, dan menimbulkan risau: ia tak mau menerima suap atau upeti. Semua yang diterimanya disumbangkannya untuk membuat sekolah.
Perbuatan semacam ini, bila diikuti gubernur lain, pasti akan menyebabkan keresahan. Germame pun dicopot, tapi ia membangkang. Dengan menolak upeti, bahkan dengan berpikir lain dari pola yang umum di Etiopia, Germame memang telah melawan.
Orang celaka! Maka, ia pun tewas. Yang aneh ialah bahwa ternyata perlawanannya menyebabkan orang tersadar dari tidur. Tak ayal, bahaya pikiran pun menyebar. Sang Negus bernama Haile Selassie itu akhirnya copot. Ia dimakzulkan dan dikurung di Istana Menelik.
Kisah itu bisa dibaca dalam Rysard Kapuscinski tentang Haiie Selassie, The Ernperor — sebuah terjemahan dari bahasa Polandia. Tak jelas benar apakah kisah itu dongeng belaka atau sejarah. Yang pasti, buku kecil itu menggerakkan pembacanya — kadang dengan cara puitis kadang pula jenaka — ke dalam liku-liku suram sebuah kekuasaan.
Kekuasaan memang lahan yang subur bagi praktik suap-menyuap. Di dalam labirin kekuasaan (birokrasi) yang ruwet, upeti berseliweran setiap saat, nyaris tak terendus mereka yang berada di luar.
Maka, praktik gelap itu biasanya baru terbuka jika salah satu pihak, yang menyuap atau disuap, membocorkannya ke pihak lain. Atau ada orang luar yang kebetulan mendengar aksi sogok-menyogok itu.
Tapi dalam politik, kebetulan adalah barang langka. Politik selalu memiliki tujuan, siasat, dan berkelindan dengan pelbagai kepentingan. Nyaris tak ada kebetulan dalam ranah politik. Itu sebabnya orang sulit percaya jika para pelaku suap berdalih dengan pelbagai macam alasan.
Anehnya, ribuan kilometer dari Etiopia, di sebuah negeri tempat suap dan upeti merupakan pemandangan sehari-hari, dalih justru masih menjadi semacam obat mujarab untuk menghindar dari kejaran para penegak hukum. Ada yang pura-pura lupa. Ada yang seolah-olah sakit. Dan seterusnya.
Maka tak heran bila orang kembali merindukan sosok seperti Sang Negus. Mereka beranggapan lebih baik ada seorang penguasa tunggal yang menentukan apa pun ketimbang hidup dalam gelimang kasak-kusuk yang penuh kepalsuan. Padahal Sang Negus dan citra yang melekat padanya adalah ilusi semata.
>> Selamat hari Jumat, Ki Sanak. Apakah sampean hari ini sudah menyuap?
Filed under: Indonesiana Tagged: korupsi, kpk, Nunun, pejabat, suap, upeti
Link to full article
Không có nhận xét nào:
Đăng nhận xét